Berpriviladge? Dilarang Speak Up.

Terlahir dengan priviladge dan jadi anak yang  provider kadang bikin aku sadar: aku juga punya keterbatasan—yang sebenernya, kalau dipikir-pikir, nggak perlu juga terlalu dipusingin. Tumbuh dan besar dalam stigma “kamu kan berkecukupan dan berpriviladge” bikin orang-orang mikir aku bisa dapetin apa aja yang aku mau. Salah? Ya enggak juga. Aku bersyukur, banget malah. Alhamdulillah. Tapi aku juga ngerti, manusia tuh emang suka susah nerima kalau orang lain punya sesuatu yang nggak mereka punya.

Dari kecil aku udah dibiasain hidup teratur, khususnya soal akademik dan agama. Jadwal padat merayap—les sana-sini, ekstrakurikuler full sejak TK. Kalau dihitung-hitung, aku literally nggak pernah stop sekolah dari umur 3 tahun (playgroup) sampai sekarang umur 24. Semua itu bentuk tanggung jawab orang tuaku buat nyediain fasilitas terbaik. Dan aku yakin, hampir semua orang tua juga pasti pengen ngelakuin hal yang sama buat anak-anaknya.

Dulu aku pikir semua itu hal biasa. Tapi ternyata, kata orang-orang, itu tuh... priviladge. Aku juga mikir awalnya orang lain ngalamin hal yang sama kayak aku—ya karena lingkungan sekitarku mostly mirip-mirip. Tapi ternyata, ya itu lagi-lagi dianggap priviladge.

Pas udah gede, aku milih ngelanjutin kuliah di bidang yang sama kayak ibuk. Nggak munafik, iya, aku terinspirasi. Awalnya kupikir bakal lebih gampang karena bisa sering tanya-tanya. Tapi ya ternyata tetap aja harus belajar mati-matian, ngapalin teori, dan berusaha dapetin nilai bagus—karena itu tanggung jawabku sendiri atas pendidikanku.

Terus... bagian sulitnya di mana? Banyak yang bilang aku "dimudahkan" karena punya fasilitas dan support system yang oke. Tapi menurutku, selama aku enjoy ngejalaninnya, ya nggak terasa berat. Justru aku seneng, karena ini sesuai passion.

Sampai suatu hari...

Ada yang nyeletuk, “Ya jelas aja kamu bisa, kamu kan punya fasilitas dan daya dukung.” Lalu yang lain nambahin, “Kamu mah enak, nggak perlu kehujanan, ada atap berjalan (mobil),” atau, “Naik kereta juga tinggal pilih yang lebih nyaman.”

Ada momen juga di mana seseorang bilang aku jangan pamer priviladge. Padahal... aku nggak pernah merasa sedang pamer. Katanya sih, “Kalau naik kereta cepat, nggak usah show-off, Nin. Terkesan sombong sama yang naik komuter.” Wait, what?? Cuma karena kita ketemu di stasiun yang sama tapi naik kereta beda, aku dianggap show-off?

Aku cuma bisa bengong. Shock sih enggak banget, tapi cukup bikin mikir. Bahkan aku pernah denger komentar-komentar lain yang nyentil tentang kapabilitasku dan rasanya... ya nggak perlu juga diucapin. Tapi ya, keluar juga.

Aku nggak pernah nganggep diri ini sempurna. Aku masih terus belajar, masih bertumbuh, masih banyak hal yang lagi kuusahakan. Tapi kadang, lelah juga sih kalau terus-terusan dikomentarin soal hal yang menurutku bukan sesuatu yang perlu dipermasalahkan. Tapi namanya juga manusia kalau ga I ya D (ytta) aja wkwk 

Waktu aku coba speak up, malah dianggap aku nggak bisa ikut seneng atas bahagianya orang lain. Lah, kok gitu?

Akhirnya, aku membiarkan. Aku membiarkan omongan-omongan itu berterbangan di udara, hingga tanpa kusadari stigma-stigma itu terbayarkan dan terurai dengan sendirinya, lalu menutup pembicaraan itu dengan mandiri.

Hingga kesimpulan yang dapat kuambil: percuma saja menanggapi, terkadang tak mengapa membiarkan mereka berpikiran salah tentangku dan priviladge-ku. Namun, pada dasarnya suatu kata yang bernama priviladge tidak hanya dalam bentuk keindahan dan fasilitas yang enak—bisa jadi dalam bentuk sesuatu yang perlu diusahakan lebih. Hal itu merupakan priviladge untuk kita supaya lebih kuat dan struggle dalam menghadapi.

Dan aku? Sama saja. Aku juga struggle, aku juga masih mengusahakan banyak hal—namun mungkin dalam hal yang berbeda 😊🩷. 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Tidak Semua Harus digenggam

POEM : Kau ingin apa?